RAGAM DAN LARAS BAHASA

Ragam Bahasa

Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula ragam baku.
adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia,  bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku.

Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab.
Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.

Pada jurnalistik dan hukum, menggunakan kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat.
perlu diperhatikan kaidah yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).




Menurut Felicia (2001 : 8), ragam bahasa dibagi berdasarkan :
1. Media pengantarnya atau sarananya, yang terdiri atas :
a.   Ragam lisan.
b.   Ragam tulis.

Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa.
Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya.

Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak.
Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.


2. Berdasarkan situasi dan pemakaian
Ragam bahasa baku dapat berupa :
(1) ragam bahasa baku tulis dan
(2) ragam bahasa baku lisan.

Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian,
sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat.  Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya.
Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis.
Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.


Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1.      Tata Bahasa
(Bentuk kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)
a.       Ragam bahasa lisan :
-         Nia sedang baca surat kabar
-         Ari mau nulis surat
-         Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
-         Mereka tinggal di Menteng.
-         Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-         Saya akan tanyakan soal itu
.
b.      Ragam bahasa Tulis :
-         Nia sedangmembaca surat kabar
-         Ari mau menulis surat
-         Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
-         Mereka bertempat tinggal di Menteng
-         Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-         Akan saya tanyakan soal itu.


2.      Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata :
a.       Ragam Lisan
-         Ariani bilang kalau kita harus belajar
-         Kita harus bikin karya tulis
-         Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak
b.      Ragam Tulis
-         Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
-         Kita harus membuat karya tulis.
-         Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.


Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi standar dan nonstandar.
a.       ragam standar,
b.       ragam nonstandar,
c.        ragam semi standar.

Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku.
Ragam standar memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, perkembangan  dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan :
a.       topik yang sedang dibahas,
b.      hubungan antarpembicara,
c.       medium yang digunakan,
d.      lingkungan, atau
e.       situasi saat pembicaraan terjadi

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar :
·     penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
·     penggunaan kata tertentu,
·     penggunaan imbuhan,
·     penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
·     penggunaan fungsi yang lengkap.

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol.
Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda.
Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.

Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar,

sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Contoh :
(1) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok
(1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok
==>Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki contoh (1a) yang merupakan ragam standar.

Contoh :
(2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.
(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
==> Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk).
Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.

Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan.
Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.
” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’.
Sebenarnya, pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.
















Laras Bahasa
Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras sesuai dengan fungsi pemakaiannya.
Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya.

Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya.

Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau nonstandar.
Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras ilmiah.



Laras llmiah
laras dapat disampaikan dalam ragam standar, semi standar, atau nonstandar. Tidak demikian pada laras ilmiah., yang menggunakan ragam standar.
Sebuah karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat.
Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).


Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan.
Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).

Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian, dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan. Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapi untuk menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988: 15-16).
1.      Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
2.      Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
3.      Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali, konseptual, dan prosedural.
4.      Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
5.      Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan suatu hipotesis.
6.      Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif.
7.      Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.


Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah memiliki tiga ciri, yaitu :
1.    harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna
2.    harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan
3.    harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa.
Disamping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997 : 10). Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997 : 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka.  ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997 : 38).


sumber   http://t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/4762/BAB2.htm

No comments:

Post a Comment

please your comment